Posted by : Unknown Sabtu, 26 April 2014


Hari ini tepatnya tanggal 25 September, aku hanya dapat duduk di sebuah rumah pohon faforitku dan sahabatku. Aku tak kuasa membendung air mata ini, aku hanya menangis, menangis,dan menangis. Mengingat kenangan lama dengannya. Aku bodoh! Batinku dalam hati. Mengapa dulu kau tidak memberitahuku tentang semua masalahmu?? Terutama penyakitmu? Hisk...hisk... hisk...
Flashback On~
            Hari ini, hari pertama aku mendapatkan lingkungan baru, teman – teman baru, bahkan mungkin akan mendapatkan cinta yang baru pula hihihi... aku tertawa sendirian di kamarku yang sangat berantakan.
“ Citra.. Ya ampun...” ucap kakakku kaget melihat kamarku yang sangat berantakan itu.
“Kamu kan sekarang sudah SMP, kamu bisa tidak merapikan kamarmu sendiri ha? Kakak capek setiap harus harus membereskan kamarmu yang seperti kapal pecah ini!! Pokoknya kakak tidak mau tahu, mulai hari ini juga, kamu harus membereskan kamarmu yang seperti kapal pecah ini! Kalau tidak, kakak akan berikan kamu sanksi, mengerti?” lanjutnya kesal
“Iya kakakku yang cantik aku ngerti kok. Ya sudah hanya itu saja kan yang ingin kakak sampaikan kepadaku? Aku berangkat sekolah dulu ya.. Dada..” ucapku
            Mungkin sekarang kakakku hanya mengelus dadanya. Sebenarnya aku tidak suka dinasihati seperti itu, sudah beratus – ratus kali, bahkan mungkin beribu – ribu kali ia mengingatkanku. Yah tapi apa boleh buat? Itu semua juga salahku..
            Sesampainya di sekolah, aku bergegas ke kelasku. Tapi aku melupakan sesuatu, di mana kelasku? Ya Tuhan... Kenapa aku bisa selupa ini sih? Kesalku dalam hati. Aku pun kembali melihat mading, wah penuh banget sih? Huft.. apa aku harus menunggu hanya untuk melihat kelasku? Ah, tidak aku tidak mau, lebih baik aku menerobos gerombolan manusia ini!
“ Eh, permisi, permisi. Numpang lewat yah..” ucapku
Huh.. akhirnya berhasil juga.. batinku. Setelah beberapa menit aku mencari namaku, akhirnya ketemu juga.
“Nah ini dia namaku! Aku ada di kelas 7 E.. Ok, bukan masalah.” Kataku
Aku pun menerobos gerombolan manusia itu lagi. Dan kemudian aku pun mencari kelasku. Setelah menemukannya aku sangat semangat untuk memasuki kelas itu, aku langsung duduk di bangku kosong yang berada paling belakang sendiri. Tiba – tiba ada seorang anak perempuan yang menghampiriku, dan bertanya
“ apakah aku dapat duduk di sebelahmu?”
Tanpa ragu aku pun mengiyakannya.
“Iya tidak apa – apa. Lagian kursi ini juga masih kosong”
“Baiklah terima kasih”
“Kembali, Oh iya kalau boleh tau namamu siapa?”
“Perkanalkan namaku Nur Fitri Dwi Putri. Kamu boleh memanggilku Fitri.”
“ Ehm.... Kalau aku memanggilmu Pipit apakah kau keberatan?”
“ Pipit? Nama yang lucu, tidak aku tidak keberatan. Eh iya, nama kamu siapa? Aku sampai lupa menanyakannya, hehe..”
“ Namaku Citra.”
“ Hanya Citra saja?”
“ Ya tentu tidak. Nama lengkapku Citra Dwi Puspitasari. Tapi panggil saja aku Citra.”
“ Oh, bagaimana kalau aku memanggilmu Puput?”
“Ehm... bagaimana ya? Aku baru sekali mendengar nama itu. Ya sudahlah tidak apa – apa.”
“ Terima kasih, Puput”
“ Kembali”
Semakin lama, hubunganku dengan Pipit semakin dekat saja, bahkan kami sekarang bersahabat. Alangkah indahnya mempunyai sahabat seperti Pipit, ia sangat cantik, baik, manis, dan pintar. Tetapi minggu – minggu ini Pipit jarang sekali masuk sekolah, ada apa dengan dia? Aku pun tidak tau. Ya Tuhan.. mudah – mudahan dia baik – baik saja.
“Hai Pipit, sudah dua hari aku tidak bertemu denganmu. Memangnya ada apa denganmu?”
“ Ah, aku tidak apa – apa kok,Put. Tenang saja aku tidak masuk sekolah, karena aku sedang membantu saudara yang sedang menikah.”
“ Syukurlah kalau begitu, ku kira kamu sakit, aku sangat khawatir denganmu. Kau tau kan aku telah menganggapmu sebagai saudaraku sendiri”
Ia hanya mengangguk dan tersenyum mendengar perkataanku tadi. Tetapi itu hanya sementara, beberapa detik kemudian raut wajahnya berubah drastis. Yang semula tersenyum, kini terlihat sangat sedih. Seperti banyak beban yang dia tanggung. Dan aku pun tidak tinggal diam, aku memberanikan diri untuk menanyakan masalahnya.
“Ehm.. Pit, kau tidak apa – apa kan? Apakah kau punya masalah?”
“ Ah, tidak aku tidak mempunyai masalah apa – apa kok Put, kamu tenang saja ya?”
“ Benarkah? Baiklah kalau begitu. Jika kamu mempunyai masalah, ceritakan saja padaku, aku ini kan sahabatmu.”
“ Iya, terima kasih ya.. Sahabat”
“ Iya sama – sama, i always with you forever. Walau pun kita akan berpisah, entah itu kapan. Tetapi yang jelas, aku akan selalu ada di sini, di hatimu”
“ Aku juga akan berada di hatimu, selamanya..”
Percakapan yang sungguh aneh menurutku, seperti salam perpisahan. Ah, itu tidak mungkin! Pipit akan baik – baik saja. Tapi bagaimana jika ia benar – benar saja, Ya Tuhan semoga itu tidak terjadi.
            Hari hari telah berlalu, hari ini aku akan mengajak Pipit untuk membuat rumah pohon bersama di belakang rumahku.
“Hai Pipit, apakah hari ini kau sibuk?”
“Tidak terlalu, memangnya ada apa Put?”
“Kalau kau tidak sibuk dan tak keberatan, aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Kita akan membuah sebuah proyek besar. Apa kau mau?”
“ Tentu saja, kapan?”
“ Bagaimana jika sepulang sekolah nanti, kau pulang bersamaku?”
“Baiklah, tapi aku harus ijin kepada orang tuaku”
“Ok, tidak masalah.”
Akhirnya bel pulang sekolah yang aku tunggu pun datang.
“Bagaimana, apa kau diperbolehkan?”
“aku juga tidak tahu, bagaimana jika aku pulang ke rumahku dulu. Lalu jika aku diperbolehkan, aku akan langsung pergi ke rumahmu.”
“Baiklah, akan ku tunggu di rumah, ya sudah aku pulang dulu ya?”
“Iya, sampai jumpa nanti ya....”
Sesampainya di rumah, aku tidak sabar untuk membuat proyek itu bersama sahabatku. Alangkah senang... Tetapi waktu Pipit datang ke rumahku, ada yang mengganjal dengan keadaan Pipit, pergelangan tangannya terluka dan sepertinya itu luka yang disengaja.
“Hey Pit, aku di sini!” teriakku memanggilnya
“Ada apa dengan pergelangan tanganmu, mengapa berdarah seperti itu?”
“ Oh ini, hanya luka biasa. Kau tidak perlu khawatir.”
“Tapi mengapa bisa luka?”
“Tadi aku hanya membantu ibu memotong sayuran, tidak sengaja aku malah memotong tanganku sendiri.”
“ Apakah itu sakit?”
“ Tidak terlalu, ini sudah biasa”
“ Biasa?? Berarti kamu pergelangan tangan  terluka?”
“ Ya, bisa di bilang begitu.”
Aku tersentak kaget ketika mendengar itu, aku saja yang baru mengalami satu kali saja merasakan sakit yang sangat sangat sakit. Sepertinya ada yang Pipit sembunyikan dariku.
“ Hey Put, kok malah ngelamun?”
“Hah?? Ehm... tidak kok, aku hanya berfikir, apakah itu tidak sakit?”
“ Yah, lumayan sih. Tapi kerena terbiasa aku tidak merasakan itu lagi.”
“Oh, begitu...”
“Eh iya, tadi waktu di sekolah kau bilang ingin membuat proyek besar, proyek apa itu?”
“Ah, iya aku lupa.. Begini, ada sebuah pohon yang lumayan besar di belakang rumahku rencananya aku ingin membuat rumah pohon di sana. Apa kau mau membantuku?”
“ Tentu saja, tapi kita mulai dari mana?”
“ Kita akan mulai dari membuat kerangkanya dahulu, lalu kita buat deh.”
“Ehm... Tapi bahannya bagaimana?”
“Tenang saja kau tak perlu menghawatirkan hal itu, aku sudah menyiapkannya”
“Syukurlah kalau begitu”
kami pun mengerjakan proyek itu serambi bercanda ria, sungguh menyenangkan. Setelah beberapa jam akhirnya rumah pohon itu jadi.
“Akhirnya selesai juga”
“Iya, oh iya bolehkah aku menyimpan buku cerita di rumah pohon ini?”
“Tentu saja boleh, aku mempunyai rak yang tidak dipakai lagi. Kau bisa memakainya”
“Benarkah? Terima kasih kau sangat baik sekali padaku”
“Iya, tak apa, lagi pula ini juga rumah pohonmu kan?”
“Iya, ya sudah aku akan pulang ke rumah. Sepertinya hari sudah malam”
“Baiklah sampai berjumpa esok”
“Iya”


Keesokan harinya aku tidak sabar untuk segera pulang dan menghias rumah pohon itu lagi bersama sahabat terbaikku. Tetapi sayang, aku menemukan Pipit pingsan dan mengeluarkan darah dari hidungnya pada saat istirahat. Pertanda apakah ini oh Tuhan?? Aku dan teman – temanku yang lainnya segera membaa Pipit ke UKS dan langsung menelpon dokter. Setelah beberapa menit kemudian, dokter datang kemudian memeriksa Pipit yang terbaring lemas di UKS, aku hanya bisa berdoa dan sabar. Akhirnya dokter itu pun selesai memeriksa Pipit, dan tanpa basa – basi aku pun langsung menanyakan keadaan Pipit.
“Dok, bagaimana keadaan Pipit?” tanyaku gelisah
“Apakah kau tidak tau penyakit temanmu?”
“Penyakit?? Maksud dokter apa?”
“Jadi kau tidak tau?”
“Tidak, tetapi saya perhatikan dia baik – baik saja”
“Memang dari luar ia nampak sangat sehat, tetapi tidak dari dalam tubuhnya”
“Maksud dokter apa? Apakah dia mempunyai penyakit kronis?”
“Yah, bisa dibilang seperti itu.”
“Apa?? Penyakit kronis apa itu dokter?”
“Ia memderita penyakit gagar otak dan leukimia stadium akhir”
Aku tersentak kaget, ketika dokter menjelaskan penyakit yang diderita oleh sahabatku sendiri. Dan tanpa aku sadari air mataku mulai mengalir deras hingga membasahi pipiku.
“Selain itu...”
“Selain itu apa dok?”
“Ia juga mempunyai penyakit self injury”
“Penyakit apalagi itu dok?”
“Itu adalah sebuah penyakit yang membuat penderitanya terdorong untuk menyakiti dirinya sendiri tetapi tujuannya bukan untuk bunuh diri”
“Oh begitu, bagaimana dokter bisa tau?”
“Apa kau tidak lihat pergelangan tangannya? Ada semacam luka goresan yang disengaja”
“Iya saya pernah melihatnya, tetapi kata dia itu tidak sengaja dilakukan karena pada saat itu ia sedang memotong sayuran”
“Semua yang dikatakan temanmu itu, semuanya bohong bagaimana bisa ia memotong sayuran hingga ke pergelangan tangannya? Itu mustahil kan? Paling juga hanya jarinya yang tergores.”
“Iya, betul juga.”
“Ya sudah kalau begitu, saya pulang dahulu. Jangan beri tahu temanmu jika kamu sudah mengetahui penyakitnya mengerti?”
“Memang mengapa jika saya memberi tahunya?”
“Karena ia hanya tidak ingin kamu khawatir, itu saja”
“Oh baiklah kalau begitu, terima kasih Dok”
“Iya sama – sama”
Dokter itu pun pergi, kini tinggal aku seorang diri. Aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam UKS dengan masih menangis.
“Hisk... hisk... Pipit kenapa dulu kau tak pernah bercerita kepadaku tentang semua penyakitmu, mengapa?” batinku dalam hati lalu aku tertidur di sampingnya. Beberapa menit kemudian, Pipit pun sadarkan diri.
“Dimana ini?”
“Pipit, apakah kau sudah bangun?”
“Iya. Puput, mengapa kau ada di sini?”
“Aku menunggumu hingga sadarkan diri, apakah kau sudah baikan?”
“Iya, aku ingin pulang.”
“Baiklah, bagaimana jika aku antarkan kamu?”
“Boleh juga, terima kasih Put.”
“Iya sama – sama”
Kami pun pulang menggunakan jemputan langgananku. Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas ke kamar dan menangis.
“Hisk.... hisk... aku memang sahabat yang bodoh, aku bahkan tidak tahu penyakit apa yang di derita sahabatku sendiri....” Sekarang perasaanku kacau, aku tidak mau kehilangan sahabat sepertimu Pipit, bagaimana jika kau meninggal terlebih dahulu, lalu kapan kita akan bersama lagi?? Tetapi harusku akui kau adalah seorang perempuan tangguh Pit, kau bahkan tidak pernah menangis di depanku kau malah memberikan senyum yang ternyata senyuman itu hanya untuk menutupi kepedihanmu. Apa kau tidak lelah selalu berbohong kepadaku??
Hari demi hari pun berlalu, tetapi sepertinya keadaan Pipit tak kunjung membaik, apakah ia tak pernah mendapatkan perawatan? Lalu di mana orang tuanya? Aku harus menanyakan itu kepadanya hari ini juga.
“Hai Pipit, apakah kau mau menemaniku pergi ke rumah pohon itu?”
“Tentu saja, kapan?”
“Sepulang sekolah, aku langsung menunggumu di sana, Ok?”
“Ok”
Bel sekolah pun berbunyi, aku langsung pulang dan mengganti bajuku. Tanpa makan siang terlebih dahulu, aku langsung pergi ke rumah pohon itu. Aku menunggu Pipit hampir satu jam di sana. Dan akhirnya ia pun datang.
“Hai Put, maaf ya aku telat datangnya”
Sayatan ditangan itu lagi? Apa mungkin dia telat gara – gara penyakit itu kambuh, aku tidak boleh membiarkan dia terus menerus seperti ini!
“Put, Puput kok malah ngelamun sih? Ngelamunin apaan sih?”
“Hah?? Eh aku tidak melamun kok.”
“Benarkah?”
“Iya, benar. Oh iya, bolehkah aku bertanya?”
“Tentu saja boleh, tanyakan saja”
“Begini Pit, ehm.... apakah kau mempunyai sebuah penyakit?”
“Iya, mengapa?”
“Tidak apa – apa, penyakit apa itu?”
“Nanti kau akan tau dengan sendirinya kok”
“Mengapa tidak sekarang saja?”
“Tidak, aku akan memberitahumu. Setelah aku pergi..”
“Pergi?? Pergi kemana?”
“Pergi ke suatu tempat. Di saat aku dipanggil”
“Dipanggil? Maksudmu apa aku tidak mengerti sama sekali?”
“Di saat aku telah tiada, kau akan mengetahui itu semua”
“Mengapa kau bilang seperti itu?”
“Tidak apa, aku hanya ingin mengatakannya”
“Kau tidak akan meninggal secepat itu Put, semua pasti ada proses”
“Aku tahu itu!”
“Baiklah jika kau tau itu semua..”
Itulah sebuah percakapan singkkat antara aku dengan Pipit di rumah pohon itu. Tiba – tiba kejadian yang tidak aku sukai datang lagi, Pipit mulai mengeluarkan darah segar lagi dari hidungnya.
“Pit, apa kau baik – baik saja?”
“Iya, aku baik – baik saja. Hanya saja hidungku berdarah lagi”
“Ayo Pit, kita kerumah sakit saja, dari pada kau seperti ini!”
“Tidak usah Put, aku tidak mau merepotkanmu”
“Kau tidak merepotkanku Pit, ayo ikut aku!!”
Kami pun pergi ke rumah sakit menggunakan mobilku. Ya Tuhan... semoga tidak terjadi apa – apa pada sahabatku.... Aku pun mulai gelisah. Sesampainya di rumah sakit, dokter pun segera memeriksa keadaannya.
Beberapa menit kemudian, dokter pun ke luar dari ruangan Pipit.
“Apakah kau saudara dari Adik Pipit?”
“Bukan Dokter, saya sahabatnya Pipit. Bagaimana keadaannya?”
“Penyakitnya tambah memburuk, sisa hidupnya mungkin hanya tinggal beberapa jam saja.”
“Apa?? Ti...ti...tidak mungkin Dok.” Aku pun meneteskan air mataku kembali
“Maafkan saya nak, saya tidak dapat membantumu lagi.”
Dokter pun meninggalkanku. Aku  tidak bisa menahan rasa pedih dan sakitku ini. Aku menangis sekeras kerasnya. Aku tak peduli orang melihatku seperti orang gila. Aku hanya ingin Pipit sehat kembali dan kita bisa bersama – sama lagi. Setelah aku menenangkan diri aku segera masuk ke dalam ruangan Pipit.
“Hai Put!” sapanya dengan senyum yang tulus, aku tahu senyum itu bukan sebatas senyum. Senyum itu adalah senyum kepedihan.
“Hai juga Pit”
“Aku tau hidupku tidak akan lama lagi kan?”
“I..iya Pit.” Tak terasa air mataku mulai menetes lagi
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan”
“Apa itu?”
“Sebenarnya, aku menderita gagar otak karena orang tuaku selalu saja bertengkar. Melempar barang kesana kemari. Ketika aku ingin  melerainya, pada saat itu juga orang tuaku melempar barangnya ke arahku. Sungguh sakit bukan main di kepalaku. Kemudian sejak aku kelas 5 SD aku sudah mempunyai penyakit leukimia. Orang tua, kakak, dan adikku tidak tau jika aku mempunyai penyakit ini. Aku sebenarnya ingin memberitahu mereka, tetapi mereka sibuk semua kecuali adikku.”
“Mengapa kau tidak memberitahu adikmu saja?”
“Aku tidak mungkin memberi tau adikku yang sangat lugu ini. Aku takut ia juga akan menghawatirkanku dan dia juga mempunyai penyakit TBC stadium lanjut, aku sangat kasihan padanya.”
“Lalu apakah kau mempunyai penyakit lain selain penyakit itu?”
“Yah, self injury. Aku menderita penyakit itu semenjak orang tuaku selalu bertengkar. Keika orang tuaku bertengkar pasti ada luka sayatan di sekitar tubuhku, terutama di pergelangan tangan.”
“Ya Tuhan.. Maafkan aku Pit, aku tidak bisa menjadi sahabatmu yang baik”
“Perkataanmu itu tidak benar Put, kau adalah satu – satunya sahabatku yang bisa menerimaku apa adanya.. Terima kasih Put, Oh iya ini, simpanlah diari ini dengan baik.”
“Tenang saja aku akan menyimpannya sebaik mungkin.”
“Terima kasih Put, sekali lagi terima kasih.. Ku rasa perjalananku cukup sampai di sini. Aku lelah, sampai berjumpa lagi entah di mana. Good bye, my best friend..”
“Pipit... tidak........ Kau tidak boleh meninggal dulu..... Jangan tinggalkan aku Pipit.... Hisk... hisk.. hisk....”
Esoknya, aku pun pergi ke tempat Pipit akan dimakamkan, aku tidak kuasa menahan tangisku lagi. Ketika jenazah Pipit telah dimakamkan aku berdoa lalu menangis lagi... lagi... lagi... dan lagi...
Setelah itu, aku berlari menuju rumah pohon itu...
Flasback Off~
Aku pun membuka diari Pipit sambil terus menangis, dan aku mulai membacanya..
5 Mei 2001
Aku tau, semua orang pasti akan sendiri entah itu kapan. Sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa, berusaha, dan bersabar. Aku berharap ada seseorang yang baik padaku.
Amin......

15 Juni 2001
Alhamdulillah Ya Allah... Akhirnya kau memberiku seorang sahabat yang sangat baik padaku. Aku tidak menyangka jika akan menemukan sahabat seperti itu..
Terima kasih Ya Allah...

17 Juli 2001
Astagfirullah, Ya Allah.. Apakah aku akan segera dipanggil oleh-Mu? Ya Allah.. jika Engkau ingin memanggilku. Aku hanya bisa menutupinya dengan sebuah senyuman manis di bibirku. Aku hanya ingin Engkau mengabulkan satu permintaanku. Aku berharap semoga orang tuaku, saudara – saudaraku dan sahabatku dapat hidup lebih bahagia ketika aku telah tiada.
Amin....

13 Agustus 2001
Ya Allah... Kapan masalah orang tuaku akan terselesaikan juga? Aku merasa kasihan dengan adikku yang memderita TBC kapan dia akan diurus oleh orang tuaku?

24 September 2001
Ya Allah... Kurasa Engkau akan segera memanggilku, tolong jaga semua orang yang aku sayangi...

Amin....

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 ♥ My Diary ♥ - Ore no Imouto - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -