Posted by : Unknown
Sabtu, 26 April 2014
Hari ini tepatnya tanggal 25 September, aku hanya
dapat duduk di sebuah rumah pohon faforitku dan sahabatku. Aku tak kuasa
membendung air mata ini, aku hanya menangis, menangis,dan menangis. Mengingat
kenangan lama dengannya. Aku bodoh! Batinku dalam hati. Mengapa dulu kau tidak
memberitahuku tentang semua masalahmu?? Terutama penyakitmu? Hisk...hisk...
hisk...
Hari ini, hari pertama
aku mendapatkan lingkungan baru, teman – teman baru, bahkan mungkin akan
mendapatkan cinta yang baru pula hihihi... aku tertawa sendirian di kamarku
yang sangat berantakan.
“ Citra.. Ya ampun...” ucap kakakku kaget melihat kamarku yang sangat
berantakan itu.
“Kamu kan sekarang sudah SMP, kamu bisa tidak merapikan kamarmu sendiri
ha? Kakak capek setiap harus harus membereskan kamarmu yang seperti kapal pecah
ini!! Pokoknya kakak tidak mau tahu, mulai hari ini juga, kamu harus membereskan
kamarmu yang seperti kapal pecah ini! Kalau tidak, kakak akan berikan kamu
sanksi, mengerti?” lanjutnya kesal
“Iya kakakku yang cantik aku ngerti kok. Ya sudah hanya itu saja kan yang
ingin kakak sampaikan kepadaku? Aku berangkat sekolah dulu ya.. Dada..” ucapku
Mungkin sekarang kakakku
hanya mengelus dadanya. Sebenarnya aku tidak suka dinasihati seperti itu, sudah
beratus – ratus kali, bahkan mungkin beribu – ribu kali ia mengingatkanku. Yah
tapi apa boleh buat? Itu semua juga salahku..
Sesampainya di sekolah,
aku bergegas ke kelasku. Tapi aku melupakan sesuatu, di mana kelasku? Ya
Tuhan... Kenapa aku bisa selupa ini sih? Kesalku dalam hati. Aku pun kembali
melihat mading, wah penuh banget sih? Huft.. apa aku harus menunggu hanya untuk
melihat kelasku? Ah, tidak aku tidak mau, lebih baik aku menerobos gerombolan
manusia ini!
“ Eh, permisi, permisi. Numpang lewat yah..” ucapku
Huh.. akhirnya berhasil juga.. batinku. Setelah beberapa menit aku
mencari namaku, akhirnya ketemu juga.
“Nah ini dia namaku! Aku ada di kelas 7 E.. Ok, bukan masalah.” Kataku
Aku pun menerobos gerombolan manusia itu lagi. Dan kemudian aku pun
mencari kelasku. Setelah menemukannya aku sangat semangat untuk memasuki kelas
itu, aku langsung duduk di bangku kosong yang berada paling belakang sendiri.
Tiba – tiba ada seorang anak perempuan yang menghampiriku, dan bertanya
“ apakah aku dapat duduk di sebelahmu?”
Tanpa ragu aku pun mengiyakannya.
“Iya tidak apa – apa. Lagian kursi ini juga masih kosong”
“Baiklah terima kasih”
“Kembali, Oh iya kalau boleh tau namamu siapa?”
“Perkanalkan namaku Nur Fitri Dwi Putri. Kamu boleh memanggilku Fitri.”
“ Ehm.... Kalau aku memanggilmu Pipit apakah kau keberatan?”
“ Pipit? Nama yang lucu, tidak aku tidak keberatan. Eh iya, nama kamu
siapa? Aku sampai lupa menanyakannya, hehe..”
“ Namaku Citra.”
“ Hanya Citra saja?”
“ Ya tentu tidak. Nama
lengkapku Citra Dwi Puspitasari. Tapi panggil saja aku Citra.”
“ Oh, bagaimana kalau aku memanggilmu Puput?”
“ Oh, bagaimana kalau aku memanggilmu Puput?”
“Ehm... bagaimana ya? Aku baru
sekali mendengar nama itu. Ya sudahlah tidak apa – apa.”
“ Terima kasih, Puput”
“ Kembali”
Semakin lama, hubunganku dengan
Pipit semakin dekat saja, bahkan kami sekarang bersahabat. Alangkah indahnya
mempunyai sahabat seperti Pipit, ia sangat cantik, baik, manis, dan pintar.
Tetapi minggu – minggu ini Pipit jarang sekali masuk sekolah, ada apa dengan
dia? Aku pun tidak tau. Ya Tuhan.. mudah – mudahan dia baik – baik saja.
“Hai Pipit, sudah dua hari aku
tidak bertemu denganmu. Memangnya ada apa denganmu?”
“ Ah, aku tidak apa – apa
kok,Put. Tenang saja aku tidak masuk sekolah, karena aku sedang membantu
saudara yang sedang menikah.”
“ Syukurlah kalau begitu, ku
kira kamu sakit, aku sangat khawatir denganmu. Kau tau kan aku telah
menganggapmu sebagai saudaraku sendiri”
Ia hanya mengangguk dan
tersenyum mendengar perkataanku tadi. Tetapi itu hanya sementara, beberapa
detik kemudian raut wajahnya berubah drastis. Yang semula tersenyum, kini
terlihat sangat sedih. Seperti banyak beban yang dia tanggung. Dan aku pun
tidak tinggal diam, aku memberanikan diri untuk menanyakan masalahnya.
“Ehm.. Pit, kau tidak apa – apa
kan? Apakah kau punya masalah?”
“ Ah, tidak aku tidak mempunyai
masalah apa – apa kok Put, kamu tenang saja ya?”
“ Benarkah? Baiklah kalau
begitu. Jika kamu mempunyai masalah, ceritakan saja padaku, aku ini kan
sahabatmu.”
“ Iya, terima kasih ya.. Sahabat”
“ Iya, terima kasih ya.. Sahabat”
“ Iya sama – sama, i always
with you forever. Walau pun kita akan berpisah, entah itu kapan. Tetapi yang
jelas, aku akan selalu ada di sini, di hatimu”
“ Aku juga akan berada di
hatimu, selamanya..”
Percakapan yang sungguh aneh
menurutku, seperti salam perpisahan. Ah, itu tidak mungkin! Pipit akan baik –
baik saja. Tapi bagaimana jika ia benar – benar saja, Ya Tuhan semoga itu tidak
terjadi.
Hari hari telah berlalu, hari ini aku akan mengajak Pipit
untuk membuat rumah pohon bersama di belakang rumahku.
“Hai Pipit, apakah hari ini kau
sibuk?”
“Tidak terlalu, memangnya ada
apa Put?”
“Kalau kau tidak sibuk dan tak
keberatan, aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Kita akan membuah sebuah proyek
besar. Apa kau mau?”
“ Tentu saja, kapan?”
“ Tentu saja, kapan?”
“ Bagaimana jika sepulang
sekolah nanti, kau pulang bersamaku?”
“Baiklah, tapi aku harus ijin
kepada orang tuaku”
“Ok, tidak masalah.”
Akhirnya bel pulang sekolah
yang aku tunggu pun datang.
“Bagaimana, apa kau
diperbolehkan?”
“aku juga tidak tahu, bagaimana
jika aku pulang ke rumahku dulu. Lalu jika aku diperbolehkan, aku akan langsung
pergi ke rumahmu.”
“Baiklah, akan ku tunggu di
rumah, ya sudah aku pulang dulu ya?”
“Iya, sampai jumpa nanti
ya....”
Sesampainya di rumah, aku tidak
sabar untuk membuat proyek itu bersama sahabatku. Alangkah senang... Tetapi
waktu Pipit datang ke rumahku, ada yang mengganjal dengan keadaan Pipit, pergelangan
tangannya terluka dan sepertinya itu luka yang disengaja.
“Hey Pit, aku di sini!”
teriakku memanggilnya
“Ada apa dengan pergelangan
tanganmu, mengapa berdarah seperti itu?”
“ Oh ini, hanya luka biasa. Kau
tidak perlu khawatir.”
“Tapi mengapa bisa luka?”
“Tadi aku hanya membantu ibu
memotong sayuran, tidak sengaja aku malah memotong tanganku sendiri.”
“ Apakah itu sakit?”
“ Tidak terlalu, ini sudah
biasa”
“ Biasa?? Berarti kamu pergelangan
tangan terluka?”
“ Ya, bisa di bilang begitu.”
“ Ya, bisa di bilang begitu.”
Aku tersentak kaget ketika
mendengar itu, aku saja yang baru mengalami satu kali saja merasakan sakit yang
sangat sangat sakit. Sepertinya ada yang Pipit sembunyikan dariku.
“ Hey Put, kok malah ngelamun?”
“Hah?? Ehm... tidak kok, aku
hanya berfikir, apakah itu tidak sakit?”
“ Yah, lumayan sih. Tapi kerena terbiasa aku tidak merasakan itu lagi.”
“ Yah, lumayan sih. Tapi kerena terbiasa aku tidak merasakan itu lagi.”
“Oh, begitu...”
“Eh iya, tadi waktu di sekolah
kau bilang ingin membuat proyek besar, proyek apa itu?”
“Ah, iya aku lupa.. Begini, ada
sebuah pohon yang lumayan besar di belakang rumahku rencananya aku ingin
membuat rumah pohon di sana. Apa kau mau membantuku?”
“ Tentu saja, tapi kita mulai
dari mana?”
“ Kita akan mulai dari membuat kerangkanya dahulu, lalu kita buat deh.”
“ Kita akan mulai dari membuat kerangkanya dahulu, lalu kita buat deh.”
“Ehm... Tapi bahannya
bagaimana?”
“Tenang saja kau tak perlu menghawatirkan hal itu, aku sudah menyiapkannya”
“Syukurlah kalau begitu”
kami pun mengerjakan proyek itu serambi bercanda ria, sungguh menyenangkan. Setelah beberapa jam akhirnya rumah pohon itu jadi.
“Tenang saja kau tak perlu menghawatirkan hal itu, aku sudah menyiapkannya”
“Syukurlah kalau begitu”
kami pun mengerjakan proyek itu serambi bercanda ria, sungguh menyenangkan. Setelah beberapa jam akhirnya rumah pohon itu jadi.
“Akhirnya selesai juga”
“Iya, oh iya bolehkah aku
menyimpan buku cerita di rumah pohon ini?”
“Tentu saja boleh, aku mempunyai rak yang tidak dipakai lagi. Kau bisa memakainya”
“Tentu saja boleh, aku mempunyai rak yang tidak dipakai lagi. Kau bisa memakainya”
“Benarkah? Terima kasih kau
sangat baik sekali padaku”
“Iya, tak apa, lagi pula ini juga rumah pohonmu kan?”
“Iya, ya sudah aku akan pulang ke rumah. Sepertinya hari sudah malam”
“Baiklah sampai berjumpa esok”
“Iya”
“Iya, tak apa, lagi pula ini juga rumah pohonmu kan?”
“Iya, ya sudah aku akan pulang ke rumah. Sepertinya hari sudah malam”
“Baiklah sampai berjumpa esok”
“Iya”
Keesokan harinya aku tidak
sabar untuk segera pulang dan menghias rumah pohon itu lagi bersama sahabat
terbaikku. Tetapi sayang, aku menemukan Pipit pingsan dan mengeluarkan darah
dari hidungnya pada saat istirahat. Pertanda apakah ini oh Tuhan?? Aku dan
teman – temanku yang lainnya segera membaa Pipit ke UKS dan langsung menelpon
dokter. Setelah beberapa menit kemudian, dokter datang kemudian memeriksa Pipit
yang terbaring lemas di UKS, aku hanya bisa berdoa dan sabar. Akhirnya dokter
itu pun selesai memeriksa Pipit, dan tanpa basa – basi aku pun langsung
menanyakan keadaan Pipit.
“Dok, bagaimana keadaan Pipit?”
tanyaku gelisah
“Apakah kau tidak tau penyakit
temanmu?”
“Penyakit?? Maksud dokter apa?”
“Jadi kau tidak tau?”
“Tidak, tetapi saya perhatikan
dia baik – baik saja”
“Memang dari luar ia nampak sangat sehat, tetapi tidak dari dalam tubuhnya”
“Memang dari luar ia nampak sangat sehat, tetapi tidak dari dalam tubuhnya”
“Maksud dokter apa? Apakah dia
mempunyai penyakit kronis?”
“Yah, bisa dibilang seperti
itu.”
“Apa?? Penyakit kronis apa itu dokter?”
“Ia memderita penyakit gagar otak dan leukimia stadium akhir”
“Apa?? Penyakit kronis apa itu dokter?”
“Ia memderita penyakit gagar otak dan leukimia stadium akhir”
Aku tersentak kaget, ketika
dokter menjelaskan penyakit yang diderita oleh sahabatku sendiri. Dan tanpa aku
sadari air mataku mulai mengalir deras hingga membasahi pipiku.
“Selain itu...”
“Selain itu apa dok?”
“Selain itu apa dok?”
“Ia juga mempunyai penyakit
self injury”
“Penyakit apalagi itu dok?”
“Itu adalah sebuah penyakit yang membuat penderitanya terdorong untuk menyakiti dirinya sendiri tetapi tujuannya bukan untuk bunuh diri”
“Itu adalah sebuah penyakit yang membuat penderitanya terdorong untuk menyakiti dirinya sendiri tetapi tujuannya bukan untuk bunuh diri”
“Oh begitu, bagaimana dokter
bisa tau?”
“Apa kau tidak lihat pergelangan tangannya? Ada semacam luka goresan yang disengaja”
“Iya saya pernah melihatnya, tetapi kata dia itu tidak sengaja dilakukan karena pada saat itu ia sedang memotong sayuran”
“Semua yang dikatakan temanmu itu, semuanya bohong bagaimana bisa ia memotong sayuran hingga ke pergelangan tangannya? Itu mustahil kan? Paling juga hanya jarinya yang tergores.”
“Iya, betul juga.”
“Apa kau tidak lihat pergelangan tangannya? Ada semacam luka goresan yang disengaja”
“Iya saya pernah melihatnya, tetapi kata dia itu tidak sengaja dilakukan karena pada saat itu ia sedang memotong sayuran”
“Semua yang dikatakan temanmu itu, semuanya bohong bagaimana bisa ia memotong sayuran hingga ke pergelangan tangannya? Itu mustahil kan? Paling juga hanya jarinya yang tergores.”
“Iya, betul juga.”
“Ya sudah kalau begitu, saya
pulang dahulu. Jangan beri tahu temanmu jika kamu sudah mengetahui penyakitnya
mengerti?”
“Memang mengapa jika saya memberi tahunya?”
“Karena ia hanya tidak ingin kamu khawatir, itu saja”
“Oh baiklah kalau begitu, terima kasih Dok”
“Iya sama – sama”
Dokter itu pun pergi, kini tinggal aku seorang diri. Aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam UKS dengan masih menangis.
“Memang mengapa jika saya memberi tahunya?”
“Karena ia hanya tidak ingin kamu khawatir, itu saja”
“Oh baiklah kalau begitu, terima kasih Dok”
“Iya sama – sama”
Dokter itu pun pergi, kini tinggal aku seorang diri. Aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam UKS dengan masih menangis.
“Hisk... hisk... Pipit kenapa
dulu kau tak pernah bercerita kepadaku tentang semua penyakitmu, mengapa?”
batinku dalam hati lalu aku tertidur di sampingnya. Beberapa menit kemudian,
Pipit pun sadarkan diri.
“Dimana ini?”
“Pipit, apakah kau sudah bangun?”
“Iya. Puput, mengapa kau ada di sini?”
“Aku menunggumu hingga sadarkan diri, apakah kau sudah baikan?”
“Iya, aku ingin pulang.”
“Baiklah, bagaimana jika aku antarkan kamu?”
“Boleh juga, terima kasih Put.”
“Iya sama – sama”
“Pipit, apakah kau sudah bangun?”
“Iya. Puput, mengapa kau ada di sini?”
“Aku menunggumu hingga sadarkan diri, apakah kau sudah baikan?”
“Iya, aku ingin pulang.”
“Baiklah, bagaimana jika aku antarkan kamu?”
“Boleh juga, terima kasih Put.”
“Iya sama – sama”
Kami pun pulang menggunakan
jemputan langgananku. Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas ke kamar dan
menangis.
“Hisk.... hisk... aku memang
sahabat yang bodoh, aku bahkan tidak tahu penyakit apa yang di derita sahabatku
sendiri....” Sekarang perasaanku kacau, aku tidak mau kehilangan sahabat
sepertimu Pipit, bagaimana jika kau meninggal terlebih dahulu, lalu kapan kita
akan bersama lagi?? Tetapi harusku akui kau adalah seorang perempuan tangguh
Pit, kau bahkan tidak pernah menangis di depanku kau malah memberikan senyum
yang ternyata senyuman itu hanya untuk menutupi kepedihanmu. Apa kau tidak
lelah selalu berbohong kepadaku??
Hari demi hari pun berlalu,
tetapi sepertinya keadaan Pipit tak kunjung membaik, apakah ia tak pernah
mendapatkan perawatan? Lalu di mana orang tuanya? Aku harus menanyakan itu
kepadanya hari ini juga.
“Hai Pipit, apakah kau mau
menemaniku pergi ke rumah pohon itu?”
“Tentu saja, kapan?”
“Sepulang sekolah, aku langsung menunggumu di sana, Ok?”
“Ok”
“Tentu saja, kapan?”
“Sepulang sekolah, aku langsung menunggumu di sana, Ok?”
“Ok”
Bel sekolah pun berbunyi, aku
langsung pulang dan mengganti bajuku. Tanpa makan siang terlebih dahulu, aku
langsung pergi ke rumah pohon itu. Aku menunggu Pipit hampir satu jam di sana.
Dan akhirnya ia pun datang.
“Hai Put, maaf ya aku telat
datangnya”
Sayatan ditangan itu lagi? Apa
mungkin dia telat gara – gara penyakit itu kambuh, aku tidak boleh membiarkan
dia terus menerus seperti ini!
“Put, Puput kok malah ngelamun
sih? Ngelamunin apaan sih?”
“Hah?? Eh aku tidak melamun kok.”
“Benarkah?”
“Iya, benar. Oh iya, bolehkah aku bertanya?”
“Tentu saja boleh, tanyakan saja”
“Begini Pit, ehm.... apakah kau mempunyai sebuah penyakit?”
“Iya, mengapa?”
“Hah?? Eh aku tidak melamun kok.”
“Benarkah?”
“Iya, benar. Oh iya, bolehkah aku bertanya?”
“Tentu saja boleh, tanyakan saja”
“Begini Pit, ehm.... apakah kau mempunyai sebuah penyakit?”
“Iya, mengapa?”
“Tidak apa – apa, penyakit apa
itu?”
“Nanti kau akan tau dengan sendirinya kok”
“Mengapa tidak sekarang saja?”
“Nanti kau akan tau dengan sendirinya kok”
“Mengapa tidak sekarang saja?”
“Tidak, aku akan memberitahumu.
Setelah aku pergi..”
“Pergi?? Pergi kemana?”
“Pergi ke suatu tempat. Di saat aku dipanggil”
“Dipanggil? Maksudmu apa aku tidak mengerti sama sekali?”
“Di saat aku telah tiada, kau akan mengetahui itu semua”
“Mengapa kau bilang seperti itu?”
“Tidak apa, aku hanya ingin mengatakannya”
“Pergi?? Pergi kemana?”
“Pergi ke suatu tempat. Di saat aku dipanggil”
“Dipanggil? Maksudmu apa aku tidak mengerti sama sekali?”
“Di saat aku telah tiada, kau akan mengetahui itu semua”
“Mengapa kau bilang seperti itu?”
“Tidak apa, aku hanya ingin mengatakannya”
“Kau tidak akan meninggal
secepat itu Put, semua pasti ada proses”
“Aku tahu itu!”
“Baiklah jika kau tau itu semua..”
“Baiklah jika kau tau itu semua..”
Itulah sebuah percakapan
singkkat antara aku dengan Pipit di rumah pohon itu. Tiba – tiba kejadian yang
tidak aku sukai datang lagi, Pipit mulai mengeluarkan darah segar lagi dari
hidungnya.
“Pit, apa kau baik – baik
saja?”
“Iya, aku baik – baik saja.
Hanya saja hidungku berdarah lagi”
“Ayo Pit, kita kerumah sakit
saja, dari pada kau seperti ini!”
“Tidak usah Put, aku tidak mau merepotkanmu”
“Tidak usah Put, aku tidak mau merepotkanmu”
“Kau tidak merepotkanku Pit,
ayo ikut aku!!”
Kami pun pergi ke rumah sakit menggunakan mobilku. Ya Tuhan... semoga tidak terjadi apa – apa pada sahabatku.... Aku pun mulai gelisah. Sesampainya di rumah sakit, dokter pun segera memeriksa keadaannya.
Kami pun pergi ke rumah sakit menggunakan mobilku. Ya Tuhan... semoga tidak terjadi apa – apa pada sahabatku.... Aku pun mulai gelisah. Sesampainya di rumah sakit, dokter pun segera memeriksa keadaannya.
Beberapa menit kemudian, dokter
pun ke luar dari ruangan Pipit.
“Apakah kau saudara dari Adik
Pipit?”
“Bukan Dokter, saya sahabatnya Pipit. Bagaimana keadaannya?”
“Penyakitnya tambah memburuk, sisa hidupnya mungkin hanya tinggal beberapa jam saja.”
“Bukan Dokter, saya sahabatnya Pipit. Bagaimana keadaannya?”
“Penyakitnya tambah memburuk, sisa hidupnya mungkin hanya tinggal beberapa jam saja.”
“Apa?? Ti...ti...tidak mungkin
Dok.” Aku pun meneteskan air mataku kembali
“Maafkan saya nak, saya tidak
dapat membantumu lagi.”
Dokter pun meninggalkanku.
Aku tidak bisa menahan rasa pedih dan
sakitku ini. Aku menangis sekeras kerasnya. Aku tak peduli orang melihatku
seperti orang gila. Aku hanya ingin Pipit sehat kembali dan kita bisa bersama –
sama lagi. Setelah aku menenangkan diri aku segera masuk ke dalam ruangan
Pipit.
“Hai Put!” sapanya dengan
senyum yang tulus, aku tahu senyum itu bukan sebatas senyum. Senyum itu adalah
senyum kepedihan.
“Hai juga Pit”
“Aku tau hidupku tidak akan
lama lagi kan?”
“I..iya Pit.” Tak terasa air
mataku mulai menetes lagi
“Ada sesuatu yang ingin
kukatakan”
“Apa itu?”
“Sebenarnya, aku menderita gagar otak karena orang tuaku selalu saja bertengkar. Melempar barang kesana kemari. Ketika aku ingin melerainya, pada saat itu juga orang tuaku melempar barangnya ke arahku. Sungguh sakit bukan main di kepalaku. Kemudian sejak aku kelas 5 SD aku sudah mempunyai penyakit leukimia. Orang tua, kakak, dan adikku tidak tau jika aku mempunyai penyakit ini. Aku sebenarnya ingin memberitahu mereka, tetapi mereka sibuk semua kecuali adikku.”
“Sebenarnya, aku menderita gagar otak karena orang tuaku selalu saja bertengkar. Melempar barang kesana kemari. Ketika aku ingin melerainya, pada saat itu juga orang tuaku melempar barangnya ke arahku. Sungguh sakit bukan main di kepalaku. Kemudian sejak aku kelas 5 SD aku sudah mempunyai penyakit leukimia. Orang tua, kakak, dan adikku tidak tau jika aku mempunyai penyakit ini. Aku sebenarnya ingin memberitahu mereka, tetapi mereka sibuk semua kecuali adikku.”
“Mengapa kau tidak memberitahu
adikmu saja?”
“Aku tidak mungkin memberi tau adikku yang sangat lugu ini. Aku takut ia juga akan menghawatirkanku dan dia juga mempunyai penyakit TBC stadium lanjut, aku sangat kasihan padanya.”
“Aku tidak mungkin memberi tau adikku yang sangat lugu ini. Aku takut ia juga akan menghawatirkanku dan dia juga mempunyai penyakit TBC stadium lanjut, aku sangat kasihan padanya.”
“Lalu apakah kau mempunyai
penyakit lain selain penyakit itu?”
“Yah, self injury. Aku menderita penyakit itu semenjak orang tuaku selalu bertengkar. Keika orang tuaku bertengkar pasti ada luka sayatan di sekitar tubuhku, terutama di pergelangan tangan.”
“Yah, self injury. Aku menderita penyakit itu semenjak orang tuaku selalu bertengkar. Keika orang tuaku bertengkar pasti ada luka sayatan di sekitar tubuhku, terutama di pergelangan tangan.”
“Ya Tuhan.. Maafkan aku Pit,
aku tidak bisa menjadi sahabatmu yang baik”
“Perkataanmu itu tidak benar Put, kau adalah satu – satunya sahabatku yang bisa menerimaku apa adanya.. Terima kasih Put, Oh iya ini, simpanlah diari ini dengan baik.”
“Perkataanmu itu tidak benar Put, kau adalah satu – satunya sahabatku yang bisa menerimaku apa adanya.. Terima kasih Put, Oh iya ini, simpanlah diari ini dengan baik.”
“Tenang saja aku akan
menyimpannya sebaik mungkin.”
“Terima kasih Put, sekali lagi
terima kasih.. Ku rasa perjalananku cukup sampai di sini. Aku lelah, sampai
berjumpa lagi entah di mana. Good bye, my best friend..”
“Pipit... tidak........ Kau
tidak boleh meninggal dulu..... Jangan tinggalkan aku Pipit.... Hisk... hisk..
hisk....”
Esoknya, aku pun pergi ke
tempat Pipit akan dimakamkan, aku tidak kuasa menahan tangisku lagi. Ketika
jenazah Pipit telah dimakamkan aku berdoa lalu menangis lagi... lagi... lagi...
dan lagi...
Setelah itu, aku berlari menuju
rumah pohon itu...
Flasback Off~
Aku pun membuka diari Pipit
sambil terus menangis, dan aku mulai membacanya..
5 Mei 2001
Aku tau, semua orang pasti akan
sendiri entah itu kapan. Sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa,
berusaha, dan bersabar. Aku berharap ada seseorang yang baik padaku.
Amin......
15 Juni 2001
Alhamdulillah Ya Allah...
Akhirnya kau memberiku seorang sahabat yang sangat baik padaku. Aku tidak menyangka
jika akan menemukan sahabat seperti itu..
Terima kasih Ya Allah...
17 Juli 2001
Astagfirullah, Ya Allah..
Apakah aku akan segera dipanggil oleh-Mu? Ya Allah.. jika Engkau ingin
memanggilku. Aku hanya bisa menutupinya dengan sebuah senyuman manis di
bibirku. Aku hanya ingin Engkau mengabulkan satu permintaanku. Aku berharap
semoga orang tuaku, saudara – saudaraku dan sahabatku dapat hidup lebih bahagia
ketika aku telah tiada.
Amin....
13 Agustus 2001
Ya Allah... Kapan masalah orang
tuaku akan terselesaikan juga? Aku merasa kasihan dengan adikku yang memderita
TBC kapan dia akan diurus oleh orang tuaku?
24 September 2001
Ya Allah... Kurasa Engkau akan
segera memanggilku, tolong jaga semua orang yang aku sayangi...
Amin....